Foto

Foto di atas (header) adalah kolam kecil di lobby Hotel Pade, Banda Aceh. Foto-foto lain dapat dilihat di Instagram sebagai koleksi pribadi dengan lisensi CreativeCommon.

---

Sejak kecil saya suka membuka-buka album foto keluarga. Salah-satu foto memperlihatkan Bapak duduk di atas sepeda motor sambil memegang sebuah kamera. Tak jelas apa mereknya, tapi kelihatan kalau itu adalah kamera SLR manual. Saya tentu penasaran karena tak pernah melihat kamera itu di rumah. Yang pernah saya lihat dan saya coba adalah sebuah kamera video yang hasil rekamannya diputar dengan proyektor kecil; mirip seperti yang ada di bioskop era pra-digital. Ternyata, menurut Ibu, kamera SLR itu hilang sebelum saya lahir. Sejak saat itu saya baru tahu bahwa Bapak adalah seorang yang gemar dengan fotografi. Tak heran mengapa saya kemudian juga tertarik dengan dunia potret-memotret ini.

Kamera pertama saya adalah kamera saku hadiah dari Bapak saat lulus SMA. Dengan kamera itu, keinginan memotret menjadi tersalurkan, walau harus dibatasi karena film harganya mahal dan cuma bisa untuk 24-36 kali potret. Pernah terimpikan untuk suatu saat nanti saya bisa punya uang banyak dan bisa membeli rol film sebanyak yang saya inginkan. Agaknya mimpi itu tak sebaik kenyataan, maksudnya kenyataan malah lebih baik dari mimpi saya karena teknologi digital saat ini sangat memudahkan dunia fotografi.

Satu hal yang mungkin menghantui teman-teman yang tertarik dengan fotografi adalah bahwa menjadi fotografer haruslah memiliki kamera profesional. Bisa jadi pernyataan ini benar. Tak masalah jika harga kamera canggih itu murah. Namun, bagi saya harganya terlampau tinggi. Karena itu, untuk merekam beberapa keindahan ini saya masih menggunakan kamera digital biasa atau ponsel. Hasilnya ternyata lumayan. Kamera canggih memang membantu kita menghasilkan warna, tekstur, bentuk, dan pencahayaan yang sempurna; tapi, keindahan bisa ditangkap oleh siapapun yang antusias pada fotografi dengan kamera apa pun di tangannya!

Ayo memotret!