Aceh: Reset 2


Pembangunan Aceh belum begitu menggembirakan. Kita mungkin perlu merencanakan ulang semuanya. Tapi, sebelum melangkah jauh, mari kita lihat beberapa tonggak penting pembangunan Aceh pasca perang/konflik.

1958: Kopelma Darussalam (Universitas Syiah Kuala, IAIN Ar-Raniry, Dayah Pante Kulu) mulai dibangun.

1960: Bank Kesedjahteraan Atjeh NV didirikan. Ini menjadi cikal-bakal BPD. Sekarang bernama Bank Aceh.

1962: Badan Perancang Daerah (Bapeda) dibentuk.

1963: Bapeda berubah menjadi Badan Koordinasi Pembangunan Daerah (BKPD).

1967: BKPD berubah menjadi Badan Pertimbangan Perencanaan Pembangunan Daerah (BP3D).

1968: BP3D berubah menjadi Aceh Development Board (ADB) atau Badan Perencana Pembangunan Daerah Aceh (BPPA).

1973: BPPA diadopsi menjadi bagian dari struktur pemerintahan nasional (Bappenas) dan daerah (Bappeda).

2005-2010: Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias dibentuk untuk merespon bencana gempa dan tsunami.

Dari sejarah itu, dapat dilihat bahwa pembangunan manusia, penguatan perbendaharaan daerah, dan perencanaan yang matang adalah langkah strategis untuk memulai generasi baru. Inovasi adalah kuncinya.

Sebagai sumber pemikir-pemikir awal perencanaan Aceh, Kopelma Darussalam hendaklah terus memperbaiki kualitasnya. Kualitas tidak hanya didapat dari bibit-bibit baru yang bersaing ketat di ujian masuk perguruan tinggi, tapi juga dari seleksi tenaga pengajarnya yang kompetitif. Pusat-pusat studinya hendaklah menjadi pusat belajar masyarakat dan pengambil kebijakan publik. Pemahaman filosofis dan penerapan praktis patut hadir secara bersamaan mewarnai derap pembangunan.

Dalam pada itu, Bank Aceh hendaklah dekat dengan mereka yang ingin mandiri membangun usahanya. Bank pelopor ini harus benar-benar menjadi penggerak kesejahteraan daerah sebagaimana namanya saat pertama didirikan. Indikatornya bukan pada peningkatan pinjaman PNS, tapi pada bangkitnya usaha kecil menengah di seluruh Aceh.

Bagaimana dengan kerja pemerintah daerah? Kerjanya hendaklah direncanakan oleh orang yang bisa merencanakan. Perencanaan yang benar dengan cara benar. Untuk ini, kita bisa mencontoh semangat ADB di tahun 1960-an dan melihat cara kerja BRR.

Sebagai instansi ad-hoc dengan masa kerja lima tahun, BRR dirancang bekerja efesien dan efektif dengan pembagian fungsi secara tegas antara perencana dan pelaksana. Perencanaan terpusat dilakukan oleh satu unit khusus, sedangkan pelaksanaan dilakukan oleh satuan-satuan kerja.

Di lain pihak, instansi permanen daerah justru dibebani dua fungsi sekaligus, yaitu perencanaan dan pelaksanaan. Tak heran jika outcome yang muncul adalah perencanaan tidak matang dan pelaksanaan asal-asalan. Karena itu, satuan kerja pembangunan daerah hendaknya diberi fungsi pelaksanaan saja agar sumberdaya yang terbatas dapat difokuskan untuk kualitas output yang tinggi.

Lalu, bagaimana dengan perencanaan? Perencanaan itu berat, biar Bappeda saja.

Tonggak-tonggak penting perencanaan pembangunan Aceh yang dibangun dengan susah payah oleh indatu adalah “Reset 1” bagi Aceh. Ibarat ponsel pintar, banyak sudah “application”, “extension”, “plugin”, atau “addon” ditambahkan dalam proses puluhan tahun sesudahnya. Tak heran, kadang kita melihat gerak pembangunan lamban, tidak harmoni antara satu kegiatan dengan yang lain, tambal-sulam, atau malah “hang”. Reset tidak menurunkan versi perangkat lunak utama yang telah ditingkatkan (upgraded) seiring waktu. Reset menghilangkan aplikasi tambahan yang kadang tak penting dan mengembalikan kesegaran ponsel.

Kini, kita perlu menyegarkan semangat generasi baru dalam membangun Aceh dengan “reset” untuk kedua kalinya.

This entry was posted in Opini. Bookmark the permalink.

Leave a comment